TUNGGU ALYA
DISURGA
Oleh: Yolanda
Marliza
Apa kabar Ayah? Alya masih disini,
duduk disamping peristirahatan terakhir Ayah, menunggu Ayah dengan setia. Alya
datang ditemani senja dan seikat mawar putih kesukaan Ayah. Alya rindu sekali
dengan Ayah. Ayah rindu juga kan dengan Alya dan adik-adik? Alya tahu Ayah
selalu menyayangi kami meskipun kini Ayah sudah tidak ada lagi disini.
Sungguh, sampai saat ini Alya masih
belum bisa percaya Ayah telah pergi meninggalkan Alya, Ana dan Abdullah secepat
ini. Dulu, Ayah berpesan agar Alya menjadi wanita yang tangguh, wanita yang
mampu melawan dunia yang kejam. Namun, itu tak akan mungkin terjadi, semangat
Alya yang dulu menggebu-gebu kini telah hancur dimakan ketakutan, apalagi
semenjak kepergian Ibu setahun yang lalu, dan Ayah yang menyusul Ibu sebulan yang lalu. Rasanya hari hitam itu baru kemarin
Alya lalui.
Masih lekat diingatan Alya disaat kami
kehilanggan Ayah, Ayah terbujur kaku diatas sofa berwarna biru. Wajah Ayah
pucat, bibir Ayah hijau kehitaman. Gelas teh yang Alya pegang terjatuh dan pecah berkeping-keping
sama halnya dengan hati Alya yang tak mampu menerima kenyataan bahwa Ayah telah
pergi. Saat itu Alya hanya mampu menyalahkan penyakit kanker hati yang
menggerogoti Ayah. Alya hanya bisa menangis dan memanggil-manggil Ayah. Dan
seketika Ana dan Abdulah datang menghampiri kita. Mereka bingung apa yang
sedang terjadi diantara kita. Air mata menetes dipipi Alya, namun Ayah tetap
diam terpaku. Alya tahu jiwa Ayah ada disana dan ikut menangis melihat Alya dan
adik-adik. Karena Alya merasakannya Yah, Alya merasakan kehadiran Ayah, tapi
Alya tak bisa berbuat apa-apa.
Alya peluk tubuh Ayah yang dingin, Alya
cium wajah Ayah yang datar tanpa ekspresi sedikit pun. Ana menangis melihat kita
berpelukan mesra, bibirnya bergetar memanggil Ayah. Terlihat jelas dari raut
wajahnya bahwa Ia tak mau kehilangan Ayah dan tak rela kehilangan kasih sayang
yang selama ini Ayah berikan. Anak sekecil Ana yang baru berumur 6 tahun sudah
mengerti akan arti kematian. Sedangkan Abdullah yang baru berumur 4 tahun hanya
menangis. Alya tak tahu apa yang ia pikirkan.
Untuk kedua kalinya bendera kuning
berkibar didepan rumah kita, dan untuk kedua kalinya juga Alya mengantar
kepergian orang yang sangat Alya sayangi. Sore gelap. Mayat Ayah dalam keranda
telah diangkat. Para pelayat ikut mengiringi prosesi kepergian Ayah. Sedangkan
Ana dan Abdullah tidak ikut karena Alya tak mau kesedihan menemani mereka.Setibanya
dipemakaman, awan hitam menyelimuti langit yang tengah berkabung. Jasad Ayah
perlahan-lahan dimasukkan kedalam liang kubur. Dada Alya sesak menahan tangis. Satu
persatu cangkulan tanah menimbun jasad Ayah. Alya tabur mawar putih, Alya
elus batu nisan Ayah, dan Alya pun
menangis kembali.
Tak kuasa diri ini meninggalkan Ayah
seorang diri. Teringat kembali masa-masa indah yang telah kita lalui. Disaat Alya
terjatuh dan Ayah membasuh luka Alya, disaat Alya, Ana dan Abdullah tak bisa
tidur dan Ayah membacakan dongen untuk kami, dan kenangan indah lainnya yang
tak bisa Alya lupakan hari ini, esok dan seterusnya. Alya yakin Yah, perpisahan
ini hanya sementara, dan akan datang waktu bagi kita untuk bersama kembali.
Maafkan Alya, Ana dan Abdullah yang belum bisa menjadi anak terbaik untuk Ayah
dan Ibu. Alya berjanji akan menjaga adik-adik dan mencoba menjadi wanita
tangguh seperti yang Ayah inginkan. Ayah, Ibu, tunggu Alya dan adik-adik di
surga. Yakin dan bersabarlah bahwa kita akan bersama. Semoga Ayah dan Ibu tenang
dalam kedamaian dan bergembira bersama para malaikat di surga.
0 komentar:
Posting Komentar